Selasa, 16 November 2010

Sejarah Koinobori

Koinobori berkibar di tengah sawah. Koinobori yang tidak dipasang di tiang melainkan memakai tali.
Dalam Buku Han Akhir (Hou Han Shu) yang merupakan salah satu dari buku sejarah resmi Cina (Sejarah Dua Puluh Empat Dinasti) dikisahkan tentang sebuah air terjun di sungai Sungai Kuning yang alirannya deras. Ikan-ikan berusaha keras memanjat air terjun, namun hanya koi yang berhasil memanjat air terjun dan berubah menjadi naga. Oleh karena itu, koi yang berhasil menaiki air terjun dijadikan simbol kesuksesan dalam hidup.
Tradisi pengibaran koinobori di halaman rumah dimulai oleh kalangan samurai pada pertengahan zaman Edo. Mereka memiliki tradisi merayakan Tango no Sekku dengan memajang peralatan bela diri, seperti yoroi, kabuto, dan boneka samurai. Selain itu, mereka membuat koinobori dari kertas, kain, atau kain bekas yang dijahit dan digambari ikan koi. Koinobori dibuat agar bisa berkibar dan menggelembung bila tertiup angin.
Lukisan koinobori asal zaman Edo oleh Hiroshige (Bukit Suruga dan Jembatan Suido) dari Seratus Pemandangan Terkenal dari Edo
Pada awalnya, orang Jepang hanya mengibarkan koinobori berwarna hitam yang disebut magoi (真鯉?). Koi yang dikibarkan paling atas melambangkan putra sulung dalam keluarga. Sebagai hiasan yang dibuat untuk meramaikan perayaan, koinobori warna lain juga berangsur-angsur mulai dibuat, dan semuanya melambangkan anak laki-laki dalam keluarga. Sejak zaman Meiji, koinobori berwarna merah yang disebut higoi (緋鯉?) mulai dikibarkan untuk menemani koinobori berwarna hitam. Tradisi pengibaran koinobori biru dimulai sejak zaman Showa. Ukuran koinobori biru (kogoi, 子鯉) lebih kecil dari koinobori merah atau hitam, dan melambangkan anak koi.
Pada zaman sekarang sering dijumpai koinobori warna hijau dan oranye yang dimasudkan sebagai anak-anak koi. Di beberapa tempat di Jepang, koinobori bukan saja milik anak laki-laki. Koinobori yang melambangkan adanya anak perempuan dalam keluarga juga ingin ikut dikibarkan. Tersedianya koinobori warna cerah seperti oranye kemungkinan ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak perempuan.
Pada 1931, pencipta lagu Miyako Kondo menulis lagu berjudul "Koinobori". Dalam lirik lagu tersebut, koinobori yang besar dan berwarna hitam adalah bapak koi dan koinobori warna lain yang lebih kecil adalah anak-anak koi.[1] Konsep dari lirik lagu tersebut diterima secara luas di tengah rakyat yang sedang di bawah pemerintahan militer. Seusai Perang Dunia II, peran wanita makin penting, dan koinobori warna merah dipakai untuk melambangkan ibu koi. Satu set koinobori akhirnya secara lengkap melambangkan keluarga yang utuh: bapak, ibu, dan putra-putrinya. Hingga kini, lagu "Koinobori" ciptaan Miyako Kondo tetap dinyanyikan anak-anak, namun liriknya tetap sama seperti ketika diciptakan pada tahun 1931.
Berkibarnya koinobori sudah menjadi pemandangan langka di kota-kota besar di Jepang. Makin sedikitnya keluarga di Jepang yang memiliki anak kecil mungkin menjadi penyebabnya. Selain itu, penduduk kota besar tidak lagi tinggal di kompleks perumahan, melainkan di apartemen (mansion) yang tidak memiliki halaman untuk mengibarkan koinobori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar